When The Rain Stops...
-I love it when it’s rain. Raindrop is a part of our memory right? :)- luan 
When the rain starts to pour...
Kalau dilihat dari jauh pasti orang orang di sekitar mereka menganggap adegan itu sangat so sweet. Si cowok menyerahkan helm sepedanya pada si cewek dan si cewek sambil ketawa akan bertanya “terus kamu gimana? Kamu yang bakal kehujanan kan?” dan si cowok balas menjawab hangat “gak apa, asal kamu nya sehat, hujan deras pun aku tempuh”
Kalau dilihat dari jauh pasti orang orang di sekitar mereka menganggap adegan itu sangat so sweet. Si cowok menyerahkan helm sepedanya pada si cewek dan si cewek sambil ketawa akan bertanya “terus kamu gimana? Kamu yang bakal kehujanan kan?” dan si cowok balas menjawab hangat “gak apa, asal kamu nya sehat, hujan deras pun aku tempuh”
Tapi sayang, kalau dilihat memakai
teropong terus dikasih speaker, maka pembicaraan semanis itu gak akan pernah
terdengar.
“Ergi! Aku gak cocok tau make make
helm beginian!” Alin lagi lagi melepaskan helm sepeda biru yang sudah melekat
di kepalanya itu. Dipandangnya cowok tinggi di sebelahnya dengan dahi berkerut
tak terima.
Sementara Ergi hanya mengedikkan dua
bahunya acuh membuat Alin menghela nafas frustasi. Kehabisan ide dan juga kata
kata.
“terserah, kalau gitu kita gak usah
pulang aja” 
Kalimat santai yang sebenarnya
ancaman itu sukses membuat Alin diam seribu bahasa. Hari sudah mulai gelap,
namun cuaca sore menjelang magrib itu memang sangat tidak bersahabat. Hujan
yang lumayan lebat semenjak jam 4 tadi sukses menahan rencana pulang-ke-rumah-
dengan-selamat yang sudah Alin ancang ancang selama perjalanan bersepedanya.
Ditambah lagi harus memenuhi syarat
memakai helm sepeda biru milik Ergi selama perjalanan pulang. Menyebalkan. Huh -_-
“tapi lihat, rambutku ke tahan,
helmnya jadi gak bisa masuk!” Alin masih bersikeras padahal sebenarnya kalau
ikatan rambutnya di rendahkan sedikit helmnya akan langsung pas dengan
kepalanya.
Tapi Ergi tidak peduli “yasudah, kita
disini aja sampai malam” dan untuk kesekian kalinya argument cewek itu sia sia.
Alin mendengus sementara Ergi
tersenyum kecil.
“huh, aku pikir ini nge-date tapi..”
“apa?”
DEG. Mampus.
Dengan gugup Alin menggeleng geleng
cepat menyesali aksi bodohnya. Tidak, Ergi tidak boleh mendengar gerutuannya
sebentar ini! Tidak! Ayo Alin berpikir! Berpikir!
“ng.. dasar pemaksa” 
“huh?” Ergi masih tampak tidak
mendengar pernyataan yang barusaja dilontarkan oleh Alin.
“Argh! Sudahlah ayo jalan!” akhirnya
dengan berat hati helm itu terpasang di kepala Alin. Alin mengerucutkan
bibirnya, ia menoleh tajam pada Ergi. Dalam hati ia sedikit bersyukur suara
jumbonya yang biasanya sangat menggelegar bisa sedikit teredam oleh bunyi hujan
jadi cowok itu tak bisa mendengar jelas kata katanya. Tak terbayang apa reaksi
cowok itu saat Alin baru saja mengatakan apa yang mereka lakukan sore itu
adalah nge-date.
“puas?”
Cowok beralmond hitam yang tajam sekaligus mempesona itu tertawa kecil lalu
mengacungkan jempolnya yang dibalas Alin dengan kembali mendengus. Dengan
sedikit kasar ia menjalankan sepedanya mendahului Ergi. Ia bahkan tidak menoleh
sedikit pun dan terus mengayuh sepedanya lurus. Ngambek.
“ye yang ngambek ni…” Ergi tiba tiba
saja sudah menjalankan sepedanya berdampingan dengan sepeda Alin yang langsung
membuat gadis itu terpekik.
“ei! Jangan tiba tiba nongol dong!”
kesal, Alin menjalankan sepedanya lebih cepat tapi tetap saja bisa disusul oleh
Ergi.
“Ergi! Duluan aja deh kalau gitu!” Alin
membiarkan Ergi mendahuluinya. Tak urung, sikap Alin yang berubah drastis membuat
cowok itu bingung, ia menoleh ke belakang dan memergoki Alin menatap
punggungnya. Ia memberikan senyum manisnya tapi gadis itu malah memalingkan
wajahnya kearah lain.
Bukan hanya itu, berkali kali ia
memergoki Alin mengerucutkan bibirnya, menggembungkan pipinya, menyeringitkan
dahinya dan semua perilaku yang memperjelas bahwa gadis itu sedang tidak dalam mood yang baik. Apa mungkin hanya karena
ia memaksa Alin memakai helmnya gadis itu jadi semarah ini? Tapi masa sih?
Hujan makin lebat, baik baju Alin
ataupun baju Ergi sudah basah kuyub dibuatnya. Perjalanan terasa panjang karena
keduanya diselimuti keheningan. Alin masih tampak tidak ingin mengatakan apapun
sementara Ergi menjadi tak enak mengajak Alin berbicara, tak tau harus mulai
darimana lagi.
Tapi tidak mungkin juga ia membiarkan
gadis itu terus diam kan?
“hei hari ini padahal aku ingin
mengatakan sesuatu padamu” Ergi berujar lembut memberanikan diri. Ia tak ingin
berlama lama berada di keadaan seperti ini dan tanpa Alin sadari sepeda cowok
itu sudah berjalan beriringan dengan sepedanya. Alin diam, entah kenapa
gengsinya masih berada di level paling tinggi membuatnya hanya memandang lurus
jalan. 
“apa?” akhirnya Alin balik merespon
agak malas.
Ergi tidak
langsung menjawab, kepalanya mendongkak memandang langit yang keabuan. Rintikan
hujan mau tak mau langsung menyambut wajahnya. Air hujan mengalir disekitar
wajah cowok itu. Alin yang melihat itu  entah kenapa  tersihir untuk beberapa detik.
“tapi karena hujan tidak jadi deh, hehe”
DEG.
Tidak! Ergi salah! Ergi seharusnya
tidak boleh begitu! Alin paling benci digantung. Dan benar saja seketika raut
wajah Alin kembali menghitam murung. Gadis itu sudah terlanjur marah  dan sekarang perasaannya semakin tak karuan. Antara
penasaran dan kesal. Ergi? Entahlah mungkin cowok itu tidak begitu peka.
“kalau mau bilang ya bilang aja”
tanpa sadar Alin mengutarakan isi hatinya yang mungkin hanya bisa di dengar
oleh dirinya sendiri. Suaranya pelan seperti tidak ingin Ergi tau ia baru saja
kecewa. 
Ya, gadis itu pikir hari ini, di sore
yang walaupun hujan ia bisa mendengar apa saja yang dirasakan Ergi terhadapnya.
Sore ini akan menjadi sore terindah yang akan ia kenang diantara semua sore
yang pernah ia jalani. Sore dimana ia berharap bahwa selama 7 bulan mereka
dekat Ergi benar benar akan mengatakan ia menyukai Alin dan tidak ingin
hubungan mereka akan terus di awang awang.
Tapi tidak. Tidak ada yang terjadi. Ergi
tidak melakukan apapun. Mereka tetap bercanda dan bercanda. Alin lelah, entah
kenapa perasaannya jadi aneh. 
Mungkinkah pada akhirnya semua itu
hanya harapannya belaka? Bahkan hujan yang semakin lebat seperti sedang
mengejeknya saja.
“oh…” akhirnya Alin mengeraskan
suaranya menoleh pada Ergi dengan senyuman tipisnya. Ergi balas tersenyum. Dua
senyum yang berbeda makna. Senyum Alin untuk menyemangati dirinya sendiri menutupi
kenyataan bahwa ia barusaja patah hati. 
Rumah putih itu sudah kelihatan dari
jauh dan entah kenapa kayuhan pada pedal sepeda Alin terasa berat. Itu
rumahnya. Sementara Ergi masih setia memimpin perjalanan mereka. Gadis itu
entah kenapa jadi panik sendiri.
Setelah ia sampai di rumah Alin sadar
ia benar benar harus membuat keputusan. Tetap pada Ergi atau meninggalkan cowok
itu. 2 kenyataan menyakitkan itu membuat kepala Alin pusing. Ia ingin selalu
seperti ini, dekat dengan cowok itu tapi.. tanpa status? Itu akan menyiksanya. Tak
ada alasan nantinya jika ia cemburu atau menahan cowok itu untuk suka pada
orang lain. Ia takut jika ada orang lain yang bisa membahagiakan Ergi lebih
dari dirinya. Tapi tanpa ada kejelasan?  Ketakutannya tak ada artinya. Ia tidak berhak
melakukan semua itu. Sebagai cewek pun ia tidak berani mengutarakan perasaannya
duluan. Tidak. 
Dan pilihan kedua, meninggalkan cowok
itu? Jujur saja ia belum siap, ia sudah terlanjur nyaman dan terbiasa dengan Ergi.
 Ergi yang mengisi hari harinya. Ia belum
bisa melepas cowok itu secepat ini meskipun harus. Memaksakan perasaan itu
sulit.
Argh. Alin sadar betapa cinta itu
memang harus tegas. Ya, cewek itu yang harus tegas jika memang Ergi belum
menegaskannya.
“sudah sampai..”
Suara Ergi yang bass pecah membuyarkan
lamunan Alin. Meskipun tampak tenang, hati gadis itu mulai bergemuruh hebat. Dengan
hati hati ia memandang wajah Ergi.
“kenapa?”
DEG
Lagi lagi senyum itu. Bahkan perasaannya
tersentuh semudah ini hanya karena senyum Ergi bagaimana nantinya jika ia
berniat pergi?
“ng..anu”
Ergi terus memperhatikan Alin yang
seperti ingin mengatakan sesuatu padanya.
“ng.. anu.. itu..”
Ergi menunggu dengan sabar. Sementara
gadis di depannya malah terlihat salah tingkah. Alin menggenggam kuat kedua
tangannya. Mulutnya sudah terbuka tapi tak ada satupun kata kata yang mampu
keluar. Hanya dentuman jantungnya yang tidak beraturan yang semakin menyuara
keras di dalam dadanya.
1 detik
2 detik
3 detik
Alin menghela nafas panjang. Sia sia.
Ia tidak bisa.
“ah, lupakan!” Alin menyerah lalu berusaha
melepaskan pengait helm sepeda milik Ergi. Ia kesal pada dirinya sendiri. Saking
kesalnya pengait helm itu malah tak bisa lepas. Oh? bahkan helm ini tak mau
mendengarnya? Alin menariknya sedikit keras
Tapi tiba tiba, diluar apa yang
pernah Alin bayangkan, sesuatu yang hangat menahan tangannya,
Dan sebuah tangan lain yang lembut
dan sama hangatnya kini terarah pada dagunya. Alin terhenyak.
Dag.Dig.Dug. 
“sudah lin, jangan dipaksa” 
Dag.Dig.Dug. Suara
jantung Alin sangat keras dan cepat. Alin tidak berhenti berusaha menenangkan
dirinya sendiri.
‘Apa yang ia lakukan padaku?’
Sementara cowok itu dengan pelan dan
hati hati melepaskan pengait helm biru itu dari dagu Alin.  Lalu dengan sama lembutnya ia mengangkat helm
itu hingga terlepas dari kepala gadis itu. Setelah berhasil Ergi tersenyum
simpul, Alin menatap Ergi tidak percaya. Untuk pertama kalinya tidak ada yang
pernah membuat Alin terkejut dan mematung begitu hebatnya selain orang yang
membantunya melepas helm sepeda dari kepalanya ini. Sangat gentle dan manis. Jadi ini yang namanya waktu serasa berhenti dan dunia
seakan jadi milik berdua?
“maaf aku memaksamu memakainya, ini
juga demi kebaikanmu lin” Ergi memukul mukul helm sepedanya yang kini ada di
genggamannya. Tapi cewek di depannya masih mematung. 
“oh iya.. jika memang tidak bisa
dikatakan sekarang tak apa, tak usah dipaksa. Semua ada waktunya kan?” 
Alin masih tidak tau akan berkata
apa. Ia hanya memandang cowok itu, perasaan mereka barusaja bertengkar
sepanjang perjalanan dan sekarang scene mereka
berganti menjadi scene teromantis yang pernah ada.
“semua bakal indah pada waktunya”
Deg.
Kata kata itu. 
Ujung bibir Alin tertarik hingga
membentuk sebuah senyuman. Gadis itu tersadar. Ergi lega setidaknya ini pertama
kalinya Alin tersenyum setulus itu semenjak tadi. 
“gitu dong, kan cantik. Jelek tau
daritadi manyun manyun mulu”
Alin reflek memukul lengan Ergi
pelan, membuat Ergi tertawa kecil. 
“yasudah sana pulang, daripada
hujannya entar lebat lagi” Alin memandang awan yang sudah gelap, dan untungnya
hujan entah kenapa tidak selebat tadi turunnya bahkan nayris hanya berupa
rintikan kecil.
Ergi mengangguk kecil, lalu mulai
menaiki sepedanya. Alin? Ya gadis itu terus memperhatikan cowok yang ia sukai
itu. Ada perasaan bersalah karena sudah berniat pergi dari ergi, rintikan hujan
yang lebat, helm sepeda biru itu sudah menjadi saksi penuh bagaimana Ergi
memperhatikannya begitu tulus. Dan kata kata Ergi. Memang mungkin ia harus
menunggu lebih sabar. Semua akan lebih indah pada waktu yang tepat. Alin
percaya itu.
Bahkan pertengkaran hatinya selama
hujan lebat pun usai, seiring dengan keputusan hatinya untuk menetap pada Ergi.
Ya, hujan pun akan berhenti di waktu yang tepat bukan?
-|-|-|-
“aku lagi ke dokter”
“besok lah ya aku kasih tau sakit apa”
Alin menggeram, membaca sms semalam
dari ergi membuat gadis itu jadi penasaran setengah mati. Cowok itu memang hobi
sekali membuat perasaannya jadi tak karuan.
Separah apa sakit ergi sampai ia
tidak boleh langsung tau? Apa karena hujan hujanan dua hari yang lalu? Atau sakit
lain yang lebih parah? Ah! Alin ingin tau!
Tapi apa daya, hari ini ergi sama
sekali tidak menghubunginya. Tidak untuk mengatakan ia sakit apa, atau sekedar
menanyakan dia sudah pulang atau belum. Dan fakta itu semakin membuat alin
kehilangan arah. Gadis itu cemas, ya, tapi terlalu malu untuk mengungkapkannya.
Sms? tidak? Sms? tidak? Sms? tidak?
Argh, Alin memasukkan hpnya ke dalam
saku. Ia sudah tidak ingin berperang dengan hatinya lagi. Jika memang ergi
cowok ergi tidak akan melupakan janjinya begitu saja bukan? Setidaknya itulah
yang diharapkan Alin.
Gadis itu mulai melangkah keluar dari
kelasnya, ia sedikit menyesal karena membiarkan sahabatnya, ayu pulang duluan
kalau pada akhirnya siang yang mulai mendung itu harus ia tempuh sendiri. 
TES TES
Oh tidak, sepertinya hujan akan
bermurah hati menemani perjalanan pulangnya hari ini.
Ah, kalau begitu apa lagi yang ia
butuhkan? Payung!
Alin berhenti berjalan lalu mengacak
ngacak tasnya, beberapa detik kemudian helaan nafas kecewa terdengar. Tapi Alin
tidak menyerah, ia mengamati tasnya sekali lagi bahkan meraba rabanya sampai
pada saku kecil di samping tasnya. Seolah olah payung bisa muat disana, tapi
hasilnya nihil, payung tetap tak bisa ditemukan. Dan itu bencana nasional bagi
alin.
Ah, sial sial sial. Apa perlu ia
mengambil daun lebar sebagai pelindungnya dari hujan seperti di drama drama?
Atau ber hujan hujanan di bawah hujan lebat seperti orang patah hati?
Imajinasi Alin memang terlalu liar
-_-
Dengan perasaan kesal Alin
mempercepat langkahnya meninggalkan semua khayalan khayalanya. Bodoh amat
dengan gerimis yang mulai membasahi tubuhnya. Gadis itu tidak peduli lagi ia
hanya ingin cepat sampai di rumah. Makan dan tidur. Cukup se sederhana itu.
“huh, seandainya aku tidak menunggumu
aku tidak akan kehujanan seperti ini, seandainya kau mengatakan langsung kamu
sakit apa mungkin aku tidak akan mengkhawatirkanmu separah ini, apa susahnya
sih? seandainya— eh?”
Gadis itu tak berhenti menggerutu
sampai tiba tiba hujan tidak lagi dirasa membasahi tubuhnya. Alin celingak
celinguk bingung. Aneh, dan lebih aneh lagi saat ia memandang ke depan, rintikan
hujan yang mulai lebat masih turun membasahi tanah. Alin menerka nerka apa yang
terjadi dan mendongkak, 
Astaga! ia hampir saja terperanjat!
Bukannya langit yang ia lihat, tapi…
Wajah itu, tinggi itu, rambut botak
itu, almond hitam itu,
“seandainya aku melakukan semua itu,
kita gak akan berpayung berdua kayak ini”
Dan suara itu! Jangan bilang…
“ergi?!” alin menatap horror pada
ergi. Hei, Sejak kapan cowok itu berdiri di sebelahnya!
Sementara ergi hanya memasang wajah
polosnya. oh good~ master of poker face
is in action.
“apa yang kau lakukan disini?!”
“memayungi kita”
Huh? Reflek Mata Alin bergerak
menatap cowok itu mulai dari bawah sampai atas dan menemukan benda familiar yang
ia butuh kan semenjak tadi. Benda yang memang membuat hujan tidak lagi turun langsung
menyerang tubuhnya. Benda yang melindungi mereka sekarang. Payung. Payung
berwarna.. pink. -_-
“payung siapa yang kau pinjam?!”
pekik alin masih belum selesai dengan keterkejutannya. Dan itu membuat ergi
malah tertawa terpingkal pingkal. Dunia alin tiba tiba jadi blank, Sudahlah datang gak bilang bilang
kayak hantu sekarang cowok di depannya itu malah tertawa kayak habis ngeliat
badut. 
Tapi di balik semua keheranan alin terselip
kelegaan karena cowok itu sama sekali tidak terlihat sakit. Tanpa sadar kini
senyum kecil terukir manis di wajah gadis itu.
Sadar diperhatikan ergi berdehem
“hei, senyum senyum sendiri, kenapa melihatku seperti itu?”
Ups, ketahuan. Alin balas beredehem,
menyembunyikan kegugupannya. Kini kesadarannya  yang sempat melayang beberapa saat lalu sudah
terkumpul sepenuhnya dengan sedikit ketus Alin langsung bertanya “GR! Dan eh, seharusnya
aku yang bertanya! Sakit apa kamu?”
Ergi tidak menjawab melainkan
tersenyum. Senyum yang sulit diartikan bagi Alin. 
“ih, kamu gak kayak orang sakit tau! tadi
tiba tiba aja datang, sempat sempatnya ngegombal, terus ketawa terbahak bahak,
sekarang malah senyum senyum gak jelas. oh oh Ergi?! jangan.. jangan bilang
kamu mulai gak waras!”
Tangan Alin terangkat berniat
menyentuh dahi ergi memastikan bahwa suhu tubuh cowok itu normal tapi tangannya
otomatis berhenti di udara. Ia barusaja berlaku sangat konyol dan sekaligus
memperjelas bahwa ia sangat mencemaskan Ergi. Alin benar benar malu dan
langsung menunduk dalam dalam.
Meskipun Alin menyembunyikan wajahnya
tapi senyum ergi masih belum hilang. Sungguh, ia tidak mengharapkan Alin akan
merawatnya atau memberinya perhatian lebih saat sakit tapi mengetahui gadis
yang ia sukai memperhatikannya diam diam siapa yang tidak akan bahagia kan?
“tenang, cuma sakit pencernaan kok” 
Jawaban yang terdengar ringan itu
sukses membuat Alin kembali mengangkat kepalanya. ‘Cuma’? Apa katanya? “hah?
Pasti karna kamu suka telat makan! Ergi, selalu deh, aku tu-”
Alin segera menutup mulut. Cukup! kenapa
sih ia tidak bisa bereaksi biasa biasa aja? jangan memperjelas perasaanmu ke
permukaan dong -_-
“sudahlah!” dengan segera gadis itu
membuang pandangannya ke gedung sekolah lainnya. Dan ia baru sadar jika
sekolahnya itu masih ramai. Alin terbelalak saat di seberang melihat dilla dan
della duo penyebar gossip di sekolahnya sedang duduk santai asyik menontonnya
mungkin semenjak tadi. Dilla dan della melambai jahil pada Alin yang membuat
gadis itu berteriak panik dalam hati. Tidak! Ancaman datang!
Ia kembali menoleh pada ergi
bermaksud memberitahukan itu dan pandangan mereka bertemu,
DEG. ada desiran aneh saat alin
menatap almond milik ergi, membuat
gadis itu tak tahan menatapnya lama lama, ia ingin mengatakan sesuatu tapi
Tangan Ergi yang segera menepuk nepuk
kecil puncak kepalanya seketika menghilangkan semua kata kata yang sudah ia
siapkan. Alin membeku namun pipinya malah menghangat dan ia yakin semburat pink
kini tengah menghiasi wajahnya. Oh Tuhan…
cowok ini…
“makasih telah mengkhawatirkanku lin”
ujar ergi tulus.
Alin diam. Selalu mematung seperti
ini di kala ergi berhasil mengejutkan hatinya.
“yaah, hujannya udah berhenti ya?
jadi gak bisa lagi dong berpayung berdua”
“huh?”
Kalimat ergi sukses membuat satu alis
alin terangkat. Cowok di sampingnya tertawa kecil. membangunkan saraf saraf
alin. Dan juga mencairkan suasana.
“gombal” alin menjulurkan lidahnya.
“tapi kamu suka kan?” sambil menutup
payungnya ergi menatap alin jahil.
Alin diam saja dan segera berjalan ke
bangku keramik di depan salah satu kelas di sebelah UKS. ia malas menjawab
pertanyaan ergi meski ia tau itu hanya candaan belaka. Tetap saja hatinya tak
karuan saat mendengarnya. Dan lagi disini cukup aman untuk berbicara, daripada
di tengah lapangan tadi.
“huh, kenapa sih cuma bilang kamu
sakit pencernaan aja gak bisa lewat sms aja?” alin bertanya pertanyaan yang
memang seharusnya ia ajukan sejak tadi. “kenapa harus sekarang? kan cuma bilang
itu aja” 
ergi sedikit berdehem sebelum
menjawab
“soalnya bukan cuma itu aja yang mau
aku bilang”
Untuk pertama kalinya cowok yang
memilih berjongkok di depannya ini terlihat aneh. Ergi yang hobi membuat kesal
ini entah kenapa terlihat… gugup?
“oh? mau bilang apalagi emang?” tanya
alin penasaran. 
Ergi menunduk sebelum memberanikan
diri untuk menatap lekat mata Alin. Pandangan keduanya bertemu lagi dan membuat
sensasi aneh yang menyenangkan bagi ergi maupun alin. Tapi alin langsung
menghindari pandangannya dengan menunduk. Ia takut, ia takut ergi bisa lihat
bagaimana cara pandang Alin padanya berbeda. ia takut, perasaan terlalu jelas.
dag.dig.dug
“kan, kamu tau aku ‘itu’ sama kamu…” 
itu?
“ng.. kamu juga pernah bilang ‘itu’
juga sama aku…”
itu?
Alin menyeringitkan dahinya. Itu? itu
apa yang sedang ergi bicarakan sekarang?
Tapi saat menatap almond indah milik ergi Alin sadar.  itu? jangan bilang itu yang barusan ergi
bilang artinya… suka? 
Sekarang entah kenapa alin jadi ikut
ikutan gugup. Meskipun telat sadarnya tapi alin tau kemana arah pembicaraan
ini, dan kenyataan itu malah membuat tangan Alin mendingin. Gadis itu mau tak
mau jadi gelisah. Aduh, rileks alin… rileks..
dag. dig. dug.
“dan aku gak mau hubungan kita terus
ngambang, di awang awang, kamu juga kan lin?”
dad. dig.dug
Alin tidak mampu menjawab dan ergi
memang tidak masalah alin menjawab atau tidak. Hati gadis itu tercekat dan
entah kekuatan darimana alin tidak lagi mengalihkan pandangannya dari ergi, almond hitam itu berhasil menguasainya.
Nafas cowok itu memburu, ia tau ini
saatnya
“ng.. Alin…”
“mau gak.. kamu jadi pacar aku?”
Suasana mendadak hening. Bahkan sisa
sisa air hujan yang jatuh dari atap pun bisa terdengar, mungkin juga suara
detak jantung dua anak manusia yang kini terdiam hanya karena kata kata tulus yang
barusan terucap.
eh? hujan berhenti ya?
Alin membeku lagi. Jantungnya mulai
berirama makin cepat apalagi saat ia sadar posisi lutut kaki kanan ergi yang
menyentuh lantai. oh astaga~ terlihat seperti orang yang akan melamar saja!
belum lagi pipi alin yang langsung memanas membuat wajahnya semerah tomat.
Oh Tuhan.. Ergi barusaja bilang apa?
bilang apa? uwaaa~~ ini bukan mimpi kan?
Alin tak bisa menyembunyikan
senyumnya yang lantas membuat ergi ikut ikutan tersenyum. cowok itu mengaruk
garuk  tengkuknya yang tak gatal meredam
kegugupannya. Bagaimanapun ia tak boleh senang dulu, alin belum mengatakan
apapun kan?
“jadi gimana?” tanya ergi memandang alin.
Alin ragu sesaat sebelum membalas
tatapan ergi “kamu serius gi?”
Tanpa lama lama ergi mengangguk
mantap. “serius” ujarnya tegas. almond hitamnya
bahkan tidak menyiratkan keraguan sedikitpun. 
baiklah, kalau sudah begini….
“ya” jawab alin pelan bahkan nyaris
seperti bisikan. 
“apa?”
“iya” alin sedikit menaikkan suaranya.
“apa?”
“iya” alin berbicara dengan nada
normal.
“apa?”
“ERGI!!!” alin menghentakkan kakinya
kesal lalu memandang ergi yang kini malah tersenyum manis. Bukannya ia tidak
mendengar, suara paling pelan dari alin saja sudah bisa ia dengar sejak tadi
hanya saja mendegar kata ‘iya’ berulang ulang dari gadis itu membuat sensasi
melegakan di hati ergi.
“iya apa?” 
“maksudmu?” alin tidak mengerti.
“masak iya aja?”
Hening sejenak.
“iyaakumau” alin mengucapkannya cepat
tanpa jeda. Membuat ergi tertawa. Menggemaskan sekali.
Hening lagi.
“Makasih ya lin” 
Alin mengangguk lalu tersenyum. Gadis
itu masih tak menyangka padahal dua hari lalu ia masih berperang dengan
hatinya. Malah sempat terpikir akan meninggalkan Ergi tapi sekarang? semua
ketidak pastian hubungan mereka sirna sudah. Alin sungguh bahagia akan semua
itu. 
“sekarang mau pulang?” 
“tapi kan hujannya udah mulai turun
lagi” alin menatap gerimis yang perlahan mulai jatuh membasahi bumi. Sudah mau
hujan lagi rupanya.
Ergi malah tersenyum lalu menarik
payung pink yang sejak tadi terabaikan olehnya. menyodorkannya pada alin yang
langsung membuat gadis itu terbelalak.
“tenang.. kan ada ini”
“ERGI!!!”
and their new story  begin ;)
THE END

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar