" Like a Bird, I know someday after you're tired of flying there and here, you will come and fall for me. Stay with me forever. :) "

Rabu, 24 Oktober 2012

Aku, Dia dan Si Pelempar Penghapus Karet (Cerpen)

Hoooooolaaaa!!!! :D wkwkwk, mumpung lagi mood buat cerpen. Nih aku Post lagi cerpen aku :). Kali ini bertemakan Friendship dan tentunya Cintaa :D kali ini cerpennya aku persembahin buat siapa yaa? wuahaha kayaknya buat aku sendiri :')

Ya udah, selamat menikmati ^_^ 


 === Aku, Dia dan Si Pelempar Penghapus Karet :') ===



 -Ada yang tau kenapa patah hati itu menyakitkan? Jelas, saat apa yang diharapkan dan kemudian dapat digenggam tapi suatu saat harus dilepas siapa yang tidak sedih?-Luan

Aku menyenderkan punggungku dengan malas. Suara berisik yang sayup sayup mulai terdengar semakin mengacaukan pikiranku. Sejurus kemudian sebuah karet penghapus hitam sudah mendarat di keningku. Tak sakit sih, wajar karena ukurannya kecil. Tapi sangat menjengkelkan dan menurunkan moodku ke level makin rendah. Aku mendongkak sedikit, menatap lurus ke depan dan mendapati rei diseberang tempat dudukku  terlihat amat tertarik dengan lantai kelas kami, memutar kepalanya kian kemari tetap dengan mata menatap ke bawah. Konyol dan cara yang sangat klasik. Apa dia pikir degan begitu aku tidak tau dia yang sudah melempariku? 

Tadinya aku mau balas melemparnya. Tadinya.

Tapi yang sekarang kulakukan adalah menunduk. Bosan. Kenapa ada jam kosong saat aku benar benar ingin belajar? Jangan salah mengartikan aku sok rajin atau apalah tapi sekarang tepatnya sejak 2 hari yang lalu aku benar benar mau focus belajar. Tidak ingin memikirkan hal lain. Tapi saat tekadku sudah bulat kenapa malah guru han tidak masuk? Aish. Menjengkelkan.

Saat aku masih sibuk menggerutu dalam hati kursi sampingku berbunyi, ditarik dan sekarang seorang tengah mendudukinya. Namun aku enggan untuk menoleh.

“kenapa?” aku kenal suara itu. Dia pelempar penghapus karet!

Aku hanya bergumam tidak jelas, masih tidak ingin menatapnya. “sakit?” tanyanya dengan suara bass-berat yang khas. Rei mencondongkan badannya kearahku dan mulai memandang wajahku mungkin memastikan aku sedang tidak tidur.

Gelengan adalah jawabanku tetap saja mataku tak beralih dari meja. Entah apa yang menarik disana. Tapi jelas, lebih menarik dipandang ketimbang rei. Untuk saat ini.

“marah ya?” ada nada gusar dari pertanyaan itu aku segera menoleh dan mataku tepat beradu dengan mata hitamnya yang ditutupi kaca mata. Sekilas rei terlihat menelisik wajahku oh aku tau pasti ia sedang melihat berapa banyak jerawatku.

“tidak…” akhirnya aku jawab dengan senyum tambahan untuk lebih meyakinkan. Ia ikut tersenyum. Rei teman yang baik dia lucu dan sangat peduli dengan temannya yang lain. Tidak seperti, temannya yang satu lagi.

Seketika rasa penasaranku datang dan berkumpul di ubun ubun. Kenapa tidak aku tanyakan saja pada rei?
Aku berdehem sedikit ragu tapi daripada aku mati penasaran tak ada salahnya aku coba kan? “oh ya… kau masih berhubungan dengan alvin?” suaraku agak aneh.

Rei terdiam, Tuh kaaaan. 

Tapi kemudian ia nyengir, sangat lebar. Aku agak takut melihat itu. Tapi diluar dugaan masih tetap dengan cengirannya ia malah menoyor kepalaku. Lumayan keras sampai aku meringgis karenanya.

“ada apa?” aku mengusap bagian kepalaku yang ia toyor dengan jengkel. Lalu menatapnya kesal.

“pertanyaan macam apa itu? Berhubungan? Itu terdengar seperti aku pacaran dengan dia tau!” akhirnya ia menjelaskan apa yang harusnya ia jawab. Dan harusnya tanpa toyoran sebelumnya!

Aku menyeringit masih kesal “hanya karena itu kau harus memukul kepalaku? Aish…”

Kali ini rei tersenyum lalu kembali membuka mulutnya “oh ya, aku dan Alvin masih ‘berhubungan’ kok..” ia cekikikan geli dan aku hanya mendengus. “memangnya ada apa? Oh ya, kau pacarnya ya?” ujarnya melanjutkan masih dengan cekikikan mencurigakan.

Tapi itu tidak lucu. Kata kata pacar yang baru saja masuk ke telingaku mendengung cukup keras. Seolah tak terima jika harus diucapkan.

Aku dilemma. Kau tau 2 hari yang lalu aku dan Alvin putus. Maksudku aku mengatakan bahwa kami memang sudah tidak berhubungan lagi karena pasalnya aku dan dia sudah hilang komunikasi baik secara langsung ataupun tidak kurang lebih 2 minggu. Bahkan tidak ada kata putus yang terucap. Gila kan? Yeah… tapi kau tau betapa tegarnya aku kala itu. Tapi yang menyayat hati Alvin tampak tenang tenang saja. Seolah putus adalah hal yang sangat biasa buatnya tapi tidak buatku. Tidak untuk melepas seorang yang  terlanjur aku sukai 5 bulan ini dengan cara yang sangat jahat.

“bukan” gumamku pelan. Rei tersentak lalu spontan berteriak tertahan “apa?” jika sudah begini sisi kewanitaanku akan terguncang kau tau jika sudah disinggung masalah Alvin tangisan seolah ikut andil di dalamnya. Benar saja wajahku terasa agak panas tapi cepat cepat aku menahan hal yang lebih bahaya yang bisa terjadi selanjutnya dengan berkilah. “kau tidak tau?” tanyaku santai tapi bohong.

Ia masih menampakkan wajah tak percayanya. “kalian… putus?” tanyanya dengan nada yang masih terkaget kaget.

Aku mengangguk. Namun jauh di dalam aku berusaha keras agar tidak menangis di depannya. Itu akan terlihat sangat idiot. 

“ka.. kapan?” oh ayolah rei, haruskah kau bertanya seperti sedang menanyakan kapan hari kiamat? Segitu surprise kah? 

“memangnya kenapa? Kau benar benar tidak tau?” aku balik bertanya malas menanggapi pertanyaannya yang sebelumnya.

Ia menggeleng dengan gerakan cepat. Lalu dalam hitungan detik ia malah mengangguk dengan gerakan sedikit lebih lambat. Ini baru lucu.

“apa dia… menyia nyiakanmu?”

DEG

Dalam hal ini jantungku berdetak agak aneh cepat,cepat,cepat,cepat lalu kemudian menjadi lambat, lambat, lebih lambat, makin lambat, sangat lambat dan.. hei jangan bilang berhenti berdetak? Aku meraba dadaku oh aku masih merasakan keberadaannya!

Dan baru sadar jika yang aku lakukan adalah hal konyol yang harusnya dilewatkan.

Aku menyelipkan sebelah tanganku untuk meraba tengkukku, ada desiran aneh saat pertanyaan rei terngiang ngiang di otakku. Maksudku meskipun Alvin memang memutus komunikasi dengan gak jelas banget aku tetap saja tidak bisa mengatakan ia menyianyiakanku. Ada separuh hatiku yang belum siap mengatakan itu dan hal itu jadi pertanda jelas bahwa aku masih mencintainya. Aku memang mengatakan putus tapi disini aku juga yang ditinggalkan. Menyedihkan bukan?

“hei…”

Rei berujar lirih aku pikir ia melupakan pertanyaannya setelah aku mematung cukup lama. tapi ternyata ia menanti jawabanku.

“tidak… hanya saja memang kami yang cocoknya jadi teman” teman? Kebohongan macam apa lagi ini gena? Argh! Bahkan 2 hari ini kalian terlihat seperti tidak saling kenal, teman macam apa itu?

Yeah bener banget. Dugaanku yang mengatakan rei tidak percaya berujung nyata, rei mengerutkan dahinya sejenak sebelum berkomentar “benarkan? Pantasan sebulan ini kalian aneh..”

Oh, apakah rei memata mataiku? Maksudku kami? Kemungkinan itu kecil. Rei bukan tipe seperti itu, meskipun tidak mengenalnya terlalu dalam tapi aku cukup yakin bahwa ia tidak akan melakukan hal yang membuang buang waktu. Mungkin akan lebih baik jika ia menghabiskan waktunya dengan melempari orang dengan karet penghapus ketimbang menjadi mata mata. Apalagi mata mata hubunganku dengan teman akrabnya sewaktu di smp.

Tapi yang membuatku makin merasa sedih, sebulan? Apakah sampai sebulan betul kami berdua terlihat aneh? Astaga. Apakah kami serenggang itu? Bahkan sebelum putus?

Ini benar benar menguras hatiku.

Rei sadar ada perubahan di wajahku cepat cepat ia mengibaskan tangannya di depanku.

Aku menatapnya lekat lekat, bingung.

“aku bisa memperbaikinya!”

“memperbaiki apa?”

“hubungan kalian”

Entah setan apa yang merasukiku tapi seketika aku memutar mataku lalu dengan setengah berteriak aku berkata “tak perlu”

“jangan sok tegar!” meskipun tidak balik berteriak ada nada perintah disitu. Dan itu cukup membuatku terkejut karena selain aku tidak pernah diperintah dan dikritik sekejam itu ada kebenarnya yang selama ini kucoba sembunyikan namun dibuka paksa oleh rei. Orang yang bahkan tidak banyak aku ketahui ceritanya.

Terdorong dengan amarah yang sudah terlebih dahulu melecut aku memandangnya sebal “tau apa kamu? Sudahlah” aku mengalihkan pandanganku ke jendela merasa tiba tiba berbicara dengan rei hanya akan membuatku semakin terpuruk. Aku mulai bertanya tanya kenapa Alvin dan rei terlihat sama saat ini? Sama sama menyakitiku? Dengan cara yang berbeda. Apa karena mereka teman? Jika begitu lebih baik mereka dipisahkan.

Dengan ekor mataku aku bisa lihat ia berdiri dari duduknya, lalu merapikan bajunya yang sedikit lecek karena mungkin posisi duduknya tadi yang sedikit tidak benar. Apa artinya semua itu? Apa dia akan segera beranjak pergi begitu saja? oh ayolah! Apakah semua cowok tidak peka seperti ini hah?! Jangan membuatku semakin emosi!!

“kau itu…” jeda sejenak dan BUGH rei kembali menduduki bangku disampingku, “ jangan marah marah aku hanya mengatakan apa yang terlihat saja tak ada maksud menyinggung”

Awalnya aku cukup bersimpati karena ia masih betah berbicara denganku. Jangan kira aku berharap itu ya, yang artinya ia masih punya etikat yang baik ketimbang si Alvin itu yang seenaknya pergi tanpa mengucapkan apapun. Tapi perkataanya harus sedikit di perhalus. “kau tidak bisa mengatakan dengan seenaknya saja apa yang kau lihat, itu bisa menyinggung walaupun kau tidak berniat sebelumnya”

Ada cekikikan kecil yang kudengar “dan jika aku berbicara dengan orang tapi orang itu malah memunggungiku, tak bolehkan aku mengatakan yang seharusnya?”

Aku tersenyum kecil, anak ini. aku menoleh sedikit kearahnya “aku tidak memunggungimu”

“tapi kau tidak melihat kearahku, itu tidak sopan dan menyinggung”

Begitu kata kata itu keluar aku tak bisa menahan tawaku. Kemarahan yang sempat naik menguap begitu saja. rei.. orang yang lumayan ramah dan lucu.

“baiklah baiklah” aku menyerah dan mulai menatapnya sekedar menunjukkan bahwa aku sopan dan tidak membuatnya tersinggung.

“hm, jadi kau mau tidak?”

“apanya?”

“aish…” ia menggaruk kepalanya lalu memandangku seolah aku benar benar bloon. Detik berikutnya ia sudah bangkit dari kursinya “kalau begitu tunggu disini sebentar” segera setelah ucapan perpisahan? Itu ia beranjak keluar kelas yang. Oh, hei… sudah keluar main ya? Koridor mulai dibanjiri oleh siswa siswa lain. Tapi sayang sekali aku sedang tidak lapar.

Kurasa sekarang waktunya untuk kembali ke duniaku yang sebenarnya. Rei sudah pergi dengan begitu aku juga harus kembali dengan kegiatanku. Walupun ia bilang akan kembali aku tak yakin itu butuh waktu sebentar palingan ia ke kantin lalu singgah ke wc di jenjang ketemu farid dkk ngobrol dan pada akhirnya melupakanku. Rasanya itu mungkin mungkin saja. dan aku tidak akan terlalu terkejut jika itu benar benar terjadi pasalnya aku sudah memprediksinnya.

Ketika aku mendongkak dari arah pintu aku melihat.. hei rei kembali! Bahkan kurang dari 5 menit! Aku siap siap menyapanya sampai aku melihat seorang lagi masuk ke kelasku dan berdiri disamping rei. Motivasi untuk menyapaku tiba tiba terbang entah kemana.

“Apa?” mulutku menganga selebar lebarnya dan mataku memandang rei tak percaya.  “bagaimana….?”

Aku mulai bertanya tanya kata tanya apa lagi yang akan kugunakan setelah ‘apa’ dan ‘bagaimana’.

“loh? Apakah ada hal yang salah?” jawab rei ceria dan mendekat ke tempat dudukku. Seolah melupakan wajahku yang muram dalam hitungan detik. Tapi hal itu tak terlalu penting yang jelas bukan hanya rei sekarang yang berada dihadapanku tapi juga Alvin!

Aku mendadak panic, ini pasti karena kinerja jantungku yang lagi lagi meningkat drastis. “rei, apa apaan ini?”
“apa sih? Aku hanya mengajak Alvin main kesini. Benarkan vin?” ia menatap alvin yang tepat berada di depanku semangat, hanya saja ia tampak mengiba karena Alvin tidak mengiyakan ucapannya. Cowok dengan rambut yang sudah panjang itu hanya memandang objek lain selain aku dan rei tentunya.

Dan itu menyakitkan.

“woi” entah karena kesal karena tidak diacuhkan rei menyikut lengan Alvin hingga cowok itu sedikit terhuyung. Aku memperhatikan semuanya, mulai dari gerakan Alvin yang terkesan lambat atau secara kasar tampak enggan. Ia hanya tersenyum samar menatap rei dan sipelempar penghapus karet terus menerus mengarahkan ekor matanya padaku. Aku tau isyarat apa itu dan jujur aku juga berharap Alvin mengerti dan mau mengajakku bicara. Seperti yang diinstruksikan rei.

Tapi hingga semenit kemudian kami bertiga hanya diselimuti keheningan yang terasa panjang. Oh Alvin jangan mulai lagi. Aku sudah lelah, apa kau mau semakin menggantungkan semua ini? sekedar menyapaku apa segitu beratnya?

Aku bersyukur ada rei disini ia menyenggol lengan Alvin untuk kedua kalinya dan lebih keras. Aku tak tau maksud perbuatan itu yang jelas Alvin mengaduh setelah mendapat serangan dari rei yang lebih tinggi darinya. Tapi tetap cowok itu tidak mengatakan sepatah huruf pun. Apa ia mendadak lupa cara berbicara?

Dan entah ini harus disyukuri atau tidak, melihat respon Alvin yang jauh dari harapan, dengan intonasi lumayan tinggi rei menepuk sebelah bahu Alvin dan mulai berucap “jangan salahkan aku jika nanti kau tidak lagi bisa melihatnya tersenyum untukmu. Apa ini yang namanya balas dendam? Aku tak tau apa yang terjadi, tapi meskipun kau pernah merasa sakit karena cinta jangan menyianyiakan jika sudah dapat kau genggam cinta lainnya” ucapan itu menusuk sungguh. Rei tidak membentak, ia juga tidak terlihat seperti guru yang sedang menasehati muridnya tapi aku merasa.. tersentuh. Sungguh. Aku mengerti apa maksud kata kata itu dan aku merasa menyedihkan jika ucapan itu berputar putar di telingaku. Bahkan sampai membuat pelupuk mataku basah dan sudah setengah mati aku tahan agar tidak mengalir ke pipi.

Aku memandang Alvin yang menatap rei dalam diamnya. Alvin memang berwajah manis, siapa pun bisa mengatakan ia adalah orang baik jika hanya di tatap sekilas. Tapi siapa sangka ia pernah membuat seorang cewek menangis lebih dari 3 kali dalam 2 minggu?

Aku tak mau meyalahkannya. Karena jujur sampai sekarang aku juga tak tau apa penyebab ia mendiamkanku. Mungkin saja ada hal hal yang membuatnya marah karena aku, dan beginilah caranya membalas? Entahlah. Tapi siapa yang tahan dihindari terus?

Tanpa berlama lama Alvin kembali tersenyum. Samar. Tak ada yang bisa mengartikan semua itu termasuk aku sekalipun. Ia menepuk pelan lengan rei dan tanpa mengatakan apa pun ia mulai berjalan keluar dari kelas kami. Ia juga tidak menoleh barang sekali hanya untuk mengisyaratkan ia harus pergi. Tidak. Tidak ada
Bahkan ia juga tidak pernah menatapku sekalipun.

Kenapa ia terus bersikap seperti ini? Sampai saat ini?

Aku melihat punggungnya yang semakin menjauh dan perlahan hilang di balik pintu. Sejurus kemudian aku mendapati diriku sendiri tertunduk. Membawa kepalaku jatuh ke meja dan terisak. Tidak keras tapi bisa di dengar. Dan kembali seperti ini, ada luka lain yang tertoreh di hatiku. Sikapnya benar benar membuatmu bingung dan cenderung menyebalkan sayangnya di kasus ini aku terlanjur sayang padanya. Menangis adalah jalan paling pengecut dan terberani yang aku punya.

“sudahlah, ia hanya terlalu bodoh…”

Rei menepuk bahuku simpati. Adrenalinku kembali terguncang dan sebagai akibatnya tangisanku mengucur lebih deras. 

Memang ini akhirnya. Sudah berakhir cerita antara aku dan Alvin. Diawali dengan bukan pula suatu yang menyenangkan tapi juga sebuah perjuangan yang tak kalah menguras air mata sama saat semuanya harus segera di buang jauh jauh saat ini.

Si pelempar penghapus karet terus menepuk bahuku menyuruhku supaya lebih tenang. Benar, tak pula lah seharusnya aku begini terus. Galau tak menentu. Bukankah sekarang aku harusnya bangkit dan mulai focus belajar?

Pada saat aku mendongkak sedikit tiba tiba saja rasa malu datang menghampiriku. Eh? Aku menangis? Di depan rei? Astaga, ini pasti akan jadi bahan lelucon yang bagus untuknya!

Benar saja, ia membungkuk dan susah payah melihat wajahku yang tertutup poni ditambah lagi dengan posisi kepalaku yang masih sedikit di tekuk ke bawah. Aku tersenyum kecil, senang rasanya ada yang menemaniku disaat seperti ini.

“wajahmu merah sekali” ia berkomentar, dan aku menegakkan kepalaku dari meja menatapnya “aish, pasti aku jelek sekali?”

Ia mengangguk pula. Apa itu artinya iya? Aish… rei!!

“eh… apa itu hinaan?” 

Ia tersenyum lebar lalu tangannya terangkat dan menyentuh puncak kepalaku dan mengacak rambutku. Aku tidak bisa mengartikan apakah itu sebuah ‘iya’ atau ‘tidak’. Tapi yang jelas aku merasa risih dibegitukan!
“astaga apa yang kau--” aku merapikan rambutku yang berantakan karena kacauan tangan jahilnya. Tapi ia hanya nyengir  lalu menyentil ujung keningku. Hei, dia sangat hobi mem-bullyku ternyata!

“kau mau main lempar karet penghapus denganku?” tawaran yang cukup menarik. Dan siapa tau saat penghapus itu mengenai kepalaku aku bisa tiba tiba jadi amnesia kan? Dan melupakan Alvin untuk selama lamanya. Pasti akan sangat menyenangkan.

Aku segera mengangguk, lalu membungkuk dan mengambil penghapus yang lumayan besar dari laci meja dan tanpa jeda segera melemparnya ke dada rei. Ia tercengang tapi kemudian terkekeh hingga saat bu leni masuk kami masih bermain lempar lemaparan layaknya anak kecil.

Tak apa, itu bisa menghibur hatiku walau sedikit. Maksudku di dunia ini banyak hal berharga lain yang tak kau sangka sangka bisa menggantikan hal menyakitkan walau hanya untuk beberapa saat. Ada teman, seperti rei. Aku beruntung bisa mengenalnya. Setidaknya aku tidak akan menangis untuk 2 jam selanjutnya dan itu baik aku tak mau menyusahkan orang orang jika tiba tiba melihatku berurai air mata. Merepotkan bukan?

Terimakasih rei, dan selamat tinggal Alvin! Kali ini selamanya… :)

=THE END=

How? Komennya ditunggu dan sangat diapresiasi :))

2 komentar:

  1. wohoho...
    ada yang baru nih...
    pi kenapa ceritanya sedih mulu lu??

    BalasHapus
    Balasan
    1. biasa lah nad, orang galau wkwkwkwk, menurutmu gimana ceritanya? :D

      Hapus