Hoooooolaaaa!!!! :D wkwkwk, mumpung lagi mood buat cerpen. Nih aku Post lagi cerpen aku :). Kali ini bertemakan Friendship dan tentunya Cintaa :D kali ini cerpennya aku persembahin buat siapa yaa? wuahaha kayaknya buat aku sendiri :')
Ya udah, selamat menikmati ^_^
=== Aku, Dia dan Si Pelempar Penghapus Karet :') ===
-Ada yang tau kenapa patah hati itu menyakitkan? Jelas, saat
apa yang diharapkan dan kemudian dapat digenggam tapi suatu saat harus dilepas
siapa yang tidak sedih?-Luan
Aku menyenderkan punggungku dengan malas. Suara berisik yang
sayup sayup mulai terdengar semakin mengacaukan pikiranku. Sejurus kemudian
sebuah karet penghapus hitam sudah mendarat di keningku. Tak sakit sih, wajar
karena ukurannya kecil. Tapi sangat menjengkelkan dan menurunkan moodku ke
level makin rendah. Aku mendongkak sedikit, menatap lurus ke depan dan
mendapati rei diseberang tempat dudukku terlihat amat tertarik dengan lantai kelas
kami, memutar kepalanya kian kemari tetap dengan mata menatap ke bawah. Konyol
dan cara yang sangat klasik. Apa dia pikir degan begitu aku tidak tau dia yang
sudah melempariku?
Tapi yang sekarang kulakukan adalah menunduk. Bosan. Kenapa
ada jam kosong saat aku benar benar ingin belajar? Jangan salah mengartikan aku
sok rajin atau apalah tapi sekarang tepatnya sejak 2 hari yang lalu aku benar
benar mau focus belajar. Tidak ingin memikirkan hal lain. Tapi saat tekadku
sudah bulat kenapa malah guru han tidak masuk? Aish. Menjengkelkan.
Saat aku masih sibuk menggerutu dalam hati kursi sampingku
berbunyi, ditarik dan sekarang seorang tengah mendudukinya. Namun aku enggan
untuk menoleh.
“kenapa?” aku kenal suara itu. Dia pelempar penghapus karet!
Aku hanya bergumam tidak jelas, masih tidak ingin
menatapnya. “sakit?” tanyanya dengan suara bass-berat yang khas. Rei
mencondongkan badannya kearahku dan mulai memandang wajahku mungkin memastikan
aku sedang tidak tidur.
Gelengan adalah jawabanku tetap saja mataku tak beralih dari
meja. Entah apa yang menarik disana. Tapi jelas, lebih menarik dipandang
ketimbang rei. Untuk saat ini.
“marah ya?” ada nada gusar dari pertanyaan itu aku segera
menoleh dan mataku tepat beradu dengan mata hitamnya yang ditutupi kaca mata. Sekilas
rei terlihat menelisik wajahku oh aku tau pasti ia sedang melihat berapa banyak
jerawatku.
“tidak…” akhirnya aku jawab dengan senyum tambahan untuk
lebih meyakinkan. Ia ikut tersenyum. Rei teman yang baik dia lucu dan sangat
peduli dengan temannya yang lain. Tidak seperti, temannya yang satu lagi.
Seketika rasa penasaranku datang dan berkumpul di ubun ubun.
Kenapa tidak aku tanyakan saja pada rei?
Aku berdehem sedikit ragu tapi daripada aku mati penasaran
tak ada salahnya aku coba kan? “oh ya… kau masih berhubungan dengan alvin?”
suaraku agak aneh.
Rei terdiam, Tuh kaaaan.
Tapi kemudian ia nyengir, sangat lebar. Aku agak takut
melihat itu. Tapi diluar dugaan masih tetap dengan cengirannya ia malah menoyor
kepalaku. Lumayan keras sampai aku meringgis karenanya.
“ada apa?” aku mengusap bagian kepalaku yang ia toyor dengan
jengkel. Lalu menatapnya kesal.
“pertanyaan macam apa itu? Berhubungan? Itu terdengar
seperti aku pacaran dengan dia tau!” akhirnya ia menjelaskan apa yang harusnya
ia jawab. Dan harusnya tanpa toyoran sebelumnya!
Aku menyeringit masih kesal “hanya karena itu kau harus
memukul kepalaku? Aish…”
Kali ini rei tersenyum lalu kembali membuka mulutnya “oh ya,
aku dan Alvin masih ‘berhubungan’ kok..” ia cekikikan geli dan aku hanya
mendengus. “memangnya ada apa? Oh ya, kau pacarnya ya?” ujarnya melanjutkan
masih dengan cekikikan mencurigakan.
Tapi itu tidak lucu. Kata kata pacar yang baru saja masuk ke
telingaku mendengung cukup keras. Seolah tak terima jika harus diucapkan.
Aku dilemma. Kau tau 2 hari yang lalu aku dan Alvin putus.
Maksudku aku mengatakan bahwa kami memang sudah tidak berhubungan lagi karena
pasalnya aku dan dia sudah hilang komunikasi baik secara langsung ataupun tidak
kurang lebih 2 minggu. Bahkan tidak ada kata putus yang terucap. Gila kan?
Yeah… tapi kau tau betapa tegarnya aku kala itu. Tapi yang menyayat hati Alvin
tampak tenang tenang saja. Seolah putus adalah hal yang sangat biasa buatnya
tapi tidak buatku. Tidak untuk melepas seorang yang terlanjur aku sukai 5 bulan ini dengan cara
yang sangat jahat.
“bukan” gumamku pelan. Rei tersentak lalu spontan berteriak
tertahan “apa?” jika sudah begini sisi kewanitaanku akan terguncang kau tau
jika sudah disinggung masalah Alvin tangisan seolah ikut andil di dalamnya. Benar
saja wajahku terasa agak panas tapi cepat cepat aku menahan hal yang lebih
bahaya yang bisa terjadi selanjutnya dengan berkilah. “kau tidak tau?” tanyaku
santai tapi bohong.
Ia masih menampakkan wajah tak percayanya. “kalian… putus?”
tanyanya dengan nada yang masih terkaget kaget.
Aku mengangguk. Namun jauh di dalam aku berusaha keras agar tidak
menangis di depannya. Itu akan terlihat sangat idiot.
“ka.. kapan?” oh ayolah rei, haruskah kau bertanya seperti
sedang menanyakan kapan hari kiamat? Segitu
surprise kah?
“memangnya kenapa? Kau benar benar tidak tau?” aku balik
bertanya malas menanggapi pertanyaannya yang sebelumnya.
Ia menggeleng dengan gerakan cepat. Lalu dalam hitungan
detik ia malah mengangguk dengan gerakan sedikit lebih lambat. Ini baru lucu.
“apa dia… menyia nyiakanmu?”
DEG
Dalam hal ini jantungku berdetak agak aneh
cepat,cepat,cepat,cepat lalu kemudian menjadi lambat, lambat, lebih lambat,
makin lambat, sangat lambat dan.. hei jangan bilang berhenti berdetak? Aku
meraba dadaku oh aku masih merasakan keberadaannya!
Dan baru sadar jika yang aku lakukan adalah hal konyol yang
harusnya dilewatkan.
Aku menyelipkan sebelah tanganku untuk meraba tengkukku, ada
desiran aneh saat pertanyaan rei terngiang ngiang di otakku. Maksudku meskipun
Alvin memang memutus komunikasi dengan gak jelas banget aku tetap saja tidak
bisa mengatakan ia menyianyiakanku. Ada separuh hatiku yang belum siap
mengatakan itu dan hal itu jadi pertanda jelas bahwa aku masih mencintainya.
Aku memang mengatakan putus tapi disini aku juga yang ditinggalkan. Menyedihkan
bukan?
“hei…”
Rei berujar lirih aku pikir ia melupakan pertanyaannya
setelah aku mematung cukup lama. tapi ternyata ia menanti jawabanku.
“tidak… hanya saja memang kami yang cocoknya jadi teman”
teman? Kebohongan macam apa lagi ini gena? Argh! Bahkan 2 hari ini kalian
terlihat seperti tidak saling kenal, teman macam apa itu?
Yeah bener banget. Dugaanku yang mengatakan rei tidak
percaya berujung nyata, rei mengerutkan dahinya sejenak sebelum berkomentar
“benarkan? Pantasan sebulan ini kalian aneh..”
Oh, apakah rei memata mataiku? Maksudku kami? Kemungkinan
itu kecil. Rei bukan tipe seperti itu, meskipun tidak mengenalnya terlalu dalam
tapi aku cukup yakin bahwa ia tidak akan melakukan hal yang membuang buang
waktu. Mungkin akan lebih baik jika ia menghabiskan waktunya dengan melempari
orang dengan karet penghapus ketimbang menjadi mata mata. Apalagi mata mata
hubunganku dengan teman akrabnya sewaktu di smp.
Tapi yang membuatku makin merasa sedih, sebulan? Apakah
sampai sebulan betul kami berdua terlihat aneh? Astaga. Apakah kami serenggang
itu? Bahkan sebelum putus?
Ini benar benar menguras hatiku.
Rei sadar ada perubahan di wajahku cepat cepat ia
mengibaskan tangannya di depanku.
Aku menatapnya lekat lekat, bingung.
“aku bisa memperbaikinya!”
“memperbaiki apa?”
“hubungan kalian”
Entah setan apa yang merasukiku tapi seketika aku memutar
mataku lalu dengan setengah berteriak aku berkata “tak perlu”
“jangan sok tegar!” meskipun tidak balik berteriak ada nada
perintah disitu. Dan itu cukup membuatku terkejut karena selain aku tidak
pernah diperintah dan dikritik sekejam itu ada kebenarnya yang selama ini
kucoba sembunyikan namun dibuka paksa oleh rei. Orang yang bahkan tidak banyak
aku ketahui ceritanya.
Terdorong dengan amarah yang sudah terlebih dahulu melecut aku
memandangnya sebal “tau apa kamu? Sudahlah” aku mengalihkan pandanganku ke
jendela merasa tiba tiba berbicara dengan rei hanya akan membuatku semakin
terpuruk. Aku mulai bertanya tanya kenapa Alvin dan rei terlihat sama saat ini?
Sama sama menyakitiku? Dengan cara yang berbeda. Apa karena mereka teman? Jika
begitu lebih baik mereka dipisahkan.
Dengan ekor mataku aku bisa lihat ia berdiri dari duduknya,
lalu merapikan bajunya yang sedikit lecek karena mungkin posisi duduknya tadi
yang sedikit tidak benar. Apa artinya semua itu? Apa dia akan segera beranjak
pergi begitu saja? oh ayolah! Apakah semua cowok tidak peka seperti ini hah?!
Jangan membuatku semakin emosi!!
“kau itu…” jeda sejenak dan BUGH rei kembali menduduki
bangku disampingku, “ jangan marah marah aku hanya mengatakan apa yang terlihat
saja tak ada maksud menyinggung”
Awalnya aku cukup bersimpati karena ia masih betah berbicara
denganku. Jangan kira aku berharap itu ya, yang artinya ia masih punya etikat
yang baik ketimbang si Alvin itu yang seenaknya pergi tanpa mengucapkan apapun.
Tapi perkataanya harus sedikit di perhalus. “kau tidak bisa mengatakan dengan
seenaknya saja apa yang kau lihat, itu bisa menyinggung walaupun kau tidak
berniat sebelumnya”
Ada cekikikan kecil yang kudengar “dan jika aku berbicara
dengan orang tapi orang itu malah memunggungiku, tak bolehkan aku mengatakan
yang seharusnya?”
Aku tersenyum kecil, anak ini. aku menoleh sedikit kearahnya
“aku tidak memunggungimu”
“tapi kau tidak melihat kearahku, itu tidak sopan dan
menyinggung”
Begitu kata kata itu keluar aku tak bisa menahan tawaku.
Kemarahan yang sempat naik menguap begitu saja. rei.. orang yang lumayan ramah
dan lucu.
“baiklah baiklah” aku menyerah dan mulai menatapnya sekedar
menunjukkan bahwa aku sopan dan tidak membuatnya tersinggung.
“hm, jadi kau mau tidak?”
“apanya?”
“aish…” ia menggaruk kepalanya lalu memandangku seolah aku
benar benar bloon. Detik berikutnya ia sudah bangkit dari kursinya “kalau
begitu tunggu disini sebentar” segera setelah ucapan perpisahan? Itu ia beranjak
keluar kelas yang. Oh, hei… sudah keluar main ya? Koridor mulai dibanjiri oleh
siswa siswa lain. Tapi sayang sekali aku sedang tidak lapar.
Kurasa sekarang waktunya untuk kembali ke duniaku yang
sebenarnya. Rei sudah pergi dengan begitu aku juga harus kembali dengan
kegiatanku. Walupun ia bilang akan kembali aku tak yakin itu butuh waktu
sebentar palingan ia ke kantin lalu singgah ke wc di jenjang ketemu farid dkk
ngobrol dan pada akhirnya melupakanku. Rasanya itu mungkin mungkin saja. dan
aku tidak akan terlalu terkejut jika itu benar benar terjadi pasalnya aku sudah
memprediksinnya.
Ketika aku mendongkak dari arah pintu aku melihat.. hei rei
kembali! Bahkan kurang dari 5 menit! Aku siap siap menyapanya sampai aku
melihat seorang lagi masuk ke kelasku dan berdiri disamping rei. Motivasi untuk
menyapaku tiba tiba terbang entah kemana.
“Apa?” mulutku menganga selebar lebarnya dan mataku
memandang rei tak percaya. “bagaimana….?”
Aku mulai bertanya tanya kata tanya apa lagi yang akan
kugunakan setelah ‘apa’ dan ‘bagaimana’.
“loh? Apakah ada hal yang salah?” jawab rei ceria dan
mendekat ke tempat dudukku. Seolah melupakan wajahku yang muram dalam hitungan
detik. Tapi hal itu tak terlalu penting yang jelas bukan hanya rei sekarang
yang berada dihadapanku tapi juga Alvin!
Aku mendadak panic, ini pasti karena kinerja jantungku yang
lagi lagi meningkat drastis. “rei, apa apaan ini?”
“apa sih? Aku hanya mengajak Alvin main kesini. Benarkan
vin?” ia menatap alvin yang tepat berada di depanku semangat, hanya saja ia
tampak mengiba karena Alvin tidak mengiyakan ucapannya. Cowok dengan rambut yang
sudah panjang itu hanya memandang objek lain selain aku dan rei tentunya.
Dan itu menyakitkan.
“woi” entah karena kesal karena tidak diacuhkan rei menyikut
lengan Alvin hingga cowok itu sedikit terhuyung. Aku memperhatikan semuanya,
mulai dari gerakan Alvin yang terkesan lambat atau secara kasar tampak enggan.
Ia hanya tersenyum samar menatap rei dan sipelempar penghapus karet terus
menerus mengarahkan ekor matanya padaku. Aku tau isyarat apa itu dan jujur aku
juga berharap Alvin mengerti dan mau mengajakku bicara. Seperti yang
diinstruksikan rei.
Tapi hingga semenit kemudian kami bertiga hanya diselimuti
keheningan yang terasa panjang. Oh Alvin jangan mulai lagi. Aku sudah lelah,
apa kau mau semakin menggantungkan semua ini? sekedar menyapaku apa segitu
beratnya?
Aku bersyukur ada rei disini ia menyenggol lengan Alvin
untuk kedua kalinya dan lebih keras. Aku tak tau maksud perbuatan itu yang
jelas Alvin mengaduh setelah mendapat serangan dari rei yang lebih tinggi
darinya. Tapi tetap cowok itu tidak mengatakan sepatah huruf pun. Apa ia
mendadak lupa cara berbicara?
Dan entah ini harus disyukuri atau tidak, melihat respon
Alvin yang jauh dari harapan, dengan intonasi lumayan tinggi rei menepuk
sebelah bahu Alvin dan mulai berucap “jangan salahkan aku jika nanti kau tidak
lagi bisa melihatnya tersenyum untukmu. Apa ini yang namanya balas dendam? Aku
tak tau apa yang terjadi, tapi meskipun kau pernah merasa sakit karena cinta
jangan menyianyiakan jika sudah dapat kau genggam cinta lainnya” ucapan itu
menusuk sungguh. Rei tidak membentak, ia juga tidak terlihat seperti guru yang
sedang menasehati muridnya tapi aku merasa.. tersentuh. Sungguh. Aku mengerti
apa maksud kata kata itu dan aku merasa menyedihkan jika ucapan itu berputar
putar di telingaku. Bahkan sampai membuat pelupuk mataku basah dan sudah setengah
mati aku tahan agar tidak mengalir ke pipi.
Aku memandang Alvin yang menatap rei dalam diamnya. Alvin
memang berwajah manis, siapa pun bisa mengatakan ia adalah orang baik jika
hanya di tatap sekilas. Tapi siapa sangka ia pernah membuat seorang cewek menangis
lebih dari 3 kali dalam 2 minggu?
Aku tak mau meyalahkannya. Karena jujur sampai sekarang aku
juga tak tau apa penyebab ia mendiamkanku. Mungkin saja ada hal hal yang
membuatnya marah karena aku, dan beginilah caranya membalas? Entahlah. Tapi
siapa yang tahan dihindari terus?
Tanpa berlama lama Alvin kembali tersenyum. Samar. Tak ada
yang bisa mengartikan semua itu termasuk aku sekalipun. Ia menepuk pelan lengan
rei dan tanpa mengatakan apa pun ia mulai berjalan keluar dari kelas kami. Ia
juga tidak menoleh barang sekali hanya untuk mengisyaratkan ia harus pergi.
Tidak. Tidak ada
.
Bahkan ia juga tidak pernah menatapku sekalipun.
Kenapa ia terus bersikap seperti ini? Sampai saat ini?
Aku melihat punggungnya yang semakin menjauh dan perlahan
hilang di balik pintu. Sejurus kemudian aku mendapati diriku sendiri tertunduk.
Membawa kepalaku jatuh ke meja dan terisak. Tidak keras tapi bisa di dengar. Dan
kembali seperti ini, ada luka lain yang tertoreh di hatiku. Sikapnya benar
benar membuatmu bingung dan cenderung menyebalkan sayangnya di kasus ini aku
terlanjur sayang padanya. Menangis adalah jalan paling pengecut dan terberani
yang aku punya.
“sudahlah, ia hanya terlalu bodoh…”
Rei menepuk bahuku simpati. Adrenalinku kembali terguncang
dan sebagai akibatnya tangisanku mengucur lebih deras.
Memang ini akhirnya. Sudah berakhir cerita antara aku dan
Alvin. Diawali dengan bukan pula suatu yang menyenangkan tapi juga sebuah
perjuangan yang tak kalah menguras air mata sama saat semuanya harus segera di
buang jauh jauh saat ini.
Si pelempar penghapus karet terus menepuk bahuku menyuruhku
supaya lebih tenang. Benar, tak pula lah seharusnya aku begini terus. Galau tak
menentu. Bukankah sekarang aku harusnya bangkit dan mulai focus belajar?
Pada saat aku mendongkak sedikit tiba tiba saja rasa malu
datang menghampiriku. Eh? Aku menangis? Di depan rei? Astaga, ini pasti akan
jadi bahan lelucon yang bagus untuknya!
Benar saja, ia membungkuk dan susah payah melihat wajahku
yang tertutup poni ditambah lagi dengan posisi kepalaku yang masih sedikit di
tekuk ke bawah. Aku tersenyum kecil, senang rasanya ada yang menemaniku disaat
seperti ini.
“wajahmu merah sekali” ia berkomentar, dan aku menegakkan
kepalaku dari meja menatapnya “aish, pasti aku jelek sekali?”
Ia mengangguk pula. Apa itu artinya iya? Aish… rei!!
“eh… apa itu hinaan?”
Ia tersenyum lebar lalu tangannya terangkat dan menyentuh puncak
kepalaku dan mengacak rambutku. Aku tidak bisa mengartikan apakah itu sebuah
‘iya’ atau ‘tidak’. Tapi yang jelas aku merasa risih dibegitukan!
“astaga apa yang kau--” aku merapikan rambutku yang
berantakan karena kacauan tangan jahilnya. Tapi ia hanya nyengir lalu menyentil ujung keningku. Hei, dia sangat
hobi mem-bullyku ternyata!
“kau mau main lempar karet penghapus denganku?” tawaran yang
cukup menarik. Dan siapa tau saat penghapus itu mengenai kepalaku aku bisa tiba
tiba jadi amnesia kan? Dan melupakan Alvin untuk selama lamanya. Pasti akan
sangat menyenangkan.
Aku segera mengangguk, lalu membungkuk dan mengambil
penghapus yang lumayan besar dari laci meja dan tanpa jeda segera melemparnya
ke dada rei. Ia tercengang tapi kemudian terkekeh hingga saat bu leni masuk
kami masih bermain lempar lemaparan layaknya anak kecil.
Tak apa, itu bisa menghibur hatiku walau sedikit. Maksudku
di dunia ini banyak hal berharga lain yang tak kau sangka sangka bisa
menggantikan hal menyakitkan walau hanya untuk beberapa saat. Ada teman,
seperti rei. Aku beruntung bisa mengenalnya. Setidaknya aku tidak akan menangis
untuk 2 jam selanjutnya dan itu baik aku tak mau menyusahkan orang orang jika
tiba tiba melihatku berurai air mata. Merepotkan bukan?
Terimakasih rei, dan selamat tinggal Alvin! Kali ini
selamanya… :)
=THE END=
How? Komennya ditunggu dan sangat diapresiasi :))
How? Komennya ditunggu dan sangat diapresiasi :))

wohoho...
BalasHapusada yang baru nih...
pi kenapa ceritanya sedih mulu lu??
biasa lah nad, orang galau wkwkwkwk, menurutmu gimana ceritanya? :D
Hapus