Helloooo my friend, how are you today? i hope you fine like everyday.. -eh? kok malah nyanyi -,-"
Ahahaha, mumpung aku lagi dalam mood nih aku post lagi salah satu karyaku :) kali ini aku peruntukkan buat salah satu friend aku yang lagi bahagia bahagia-nya -cieeeee :P- semoga dia jadi tambah bahagia waktu baca ini :D
Selamat membaca :)
===Love, Love and Love===
-It's funny to know finally you're here beside me, Thank you my dearest :)-Luan
Elen
terbatuk batuk untuk kesekian kalinya. Malah kali ini lebih keras yang
memaksanya harus
duduk untuk menenangkan dirinya serta dadanya yang terasa sesak. Sebelah tangannya tengah sibuk menutup mulutnya yang terus mengeluarkan dentuman keras batuknya sementara tangannya yang lain memegangi dadanya yang nyeri. Elen menghela nafas. Ia lelah. Ia ingin pulang namun aula besar itu masih saja menyandranya. Menyuruh tubuhnya yang semenjak siang terasa tidak enak untuk terus membersihkan ruangan besar yang tampak kumuh itu. Onggokan sampah di dekat pintu aula yang semenjak tadi elen lihat tak pernah berpindah tempat membuatnya menghela sekali lagi. sementara kursi kursi aula yang masih terlihat berantakan membuat kepalanya semakin pusing.
duduk untuk menenangkan dirinya serta dadanya yang terasa sesak. Sebelah tangannya tengah sibuk menutup mulutnya yang terus mengeluarkan dentuman keras batuknya sementara tangannya yang lain memegangi dadanya yang nyeri. Elen menghela nafas. Ia lelah. Ia ingin pulang namun aula besar itu masih saja menyandranya. Menyuruh tubuhnya yang semenjak siang terasa tidak enak untuk terus membersihkan ruangan besar yang tampak kumuh itu. Onggokan sampah di dekat pintu aula yang semenjak tadi elen lihat tak pernah berpindah tempat membuatnya menghela sekali lagi. sementara kursi kursi aula yang masih terlihat berantakan membuat kepalanya semakin pusing.
“hara…”
dengan sedikit serak elen berteriak. Hening. Tak ada suara. Elen mendecak.
Kemana temannya itu? Semenjak sore tadi hara lebih sering menghilang. Bahkan
hara tak ikut makan malam bersama panitia lainnya.
“hara…!”
kali ini teriakannya lebih keras lagi. seperti orang yang berbicara dengan
mikrofon elen terus memanggil manggil temannya itu yang membuat dadanya kembali
terasa sakit dan batuk pun tak dapat di hindari.
“aish!”
elen menghentakkan sebelah kakinya ke lantai. Kesal. Kemana semua orang?
Giliran bersih bersih semuanya hilang. Ia tau acara perpisahan yang ia ketuai
berjalan lancar bahkan bisa dibilang sukses. Namun ia sama sekali tak tau jika
aula yang besarnya 15 kali lipat kamarnya ini bisa membuatnya mati kelelahan
untuk membersihkannya. Apalagi dengan kenyataan ia sendiri sekarang.
Rasanya
ia ingin menangis. Tapi apa gunanya? Yang ada malah akan tambah memperlambat
pulangnya mengingat hari sudah malam dan hpnya dari tadi tak bisa berhenti
berdering, dan suara ibunya tak henti hentinya menyuruhnya segera pulang. Namun
entah mengapa elen tetap mau bertahan di aula yang yang mengandung banyak unsur
mistis hingga selarut ini. seolah melupakan dirinya yang seorang cewek.
“elen!”
Menyadari
namanya dipanggil elen meoleh kearah pintu.
“hei..
maaf tadi aku pulang dulu biasa lah ibuku sangat khawatir padaku namun tenang
dengan 1000 alasan aku berhasil membujuknya mengingat kau masih disini…” hara
berceloteh panjang lebar dengan semangat tak menyadari elen yang semenjak tadi
menunggunya tengah menatapnya kesal.
“hei
elen.. kenapa wajahmu pucat sekali?” Tanya hara setelah selesai dengan
ceritanya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan menatap wajah elen yang sedikit
memucat.
Elen
memaksakan sebuah senyumam “tidak apa… ayo cepat kita bereskan ruangan ini, aku
benar benar ingin cepat pulang…” elen bangkit dari duduknya. Menarik lengan
hara menyuruh temannya itu ikut membantunya.
Hara
dan elen mulai bekerja. Yah.. membersihakan ruangan itu. Elen mulai merapikan bangku bangku aula dan menyusunnya.
Namun baru saja 110 menit ia bekerja. hara menepuk pundaknya pelan.
“elen..
sebentar ya aku keluar dulu…aku harus ke rumah” pinta hara dengan wajahnya yang
memelas. Otak elen yang hanya memfokuskan dirinya agar cepat bekerja tak dapat
berpikir banyak yang ia tau saat itu ia hanya mengangguk sampai sadar ia kini
sendiri lagi di aula itu.
“aish!”
Helen mendecak sebal menendang kursi plastic yang berniat ia angkat dengan
segenap tenaganya yang tersisa. Ia marah. Ia ingin pulang. Meringkuk di bawah
selimut lembutnya dan terlelap di alam mimpi. Tapi ia tak bisa dan karena
alasan tanggung jawab makanya elen masih bertahan disini.
Tapi
sendiri? Apakah itu terlalu tidak adil untuknya?
“kalau
perbaiki kursi itu harus tulus dong…”
Elen
mendongkak saat tepat ia berniat untuk menendang sebuah kursi lagi. seorang
cowok tinggi berdiri di ambang pintu melipatkan kedua tangannya di dada bergaya
angkuh namun sebuah senyuman yang lumayan lebar kearahnya menghilangkan kesan
angkuh yang diciptakan oleh gayanya.
“erik?”
kata elen saat menyadari siapa yang barusan berkata. Senyum cowok yang bernama
erik itu makin lebar. Tanpa berkata apapun erik dengan perlahan mulai berjalan
mendekat kerah elen.
“capek?”
tanyanya setelah tepat berada di hadapan elen. Pertanyaan pertama yang keluar
dari mulut cowok dengan rambut berantakan itu membuat elen menaikkan sebelah
alisnya. “apa?”
Erik
tergelak. “apa kau sebegitu capeknya hingga telingamu ikut ikutan capek?” canda
erik. Elen mendengus pelan tak berniat memperpanjang percakapan tangan. Elen
kembali bergerak memindah mindahkan kursi dan menyusunnya di tempat semula.
Mengacuhkan erik.
Srek
srek.
Merasa
terganggu dengan suara kursi yang ditarik secara terpaksa sehingga menimbulkan
suara yang kurang mengenakkan elen mengalihkan pandanganya kearah erik yang
hanya berada beberapa meter disampingnya menyeret 3 buah kursi sekaligus dengan
sebelah tangannya lalu berjalan dengan menenteng kursi ringan itu. Pandangan
elen tak pernah lepas mengawasi gerak gerik cowok itu.
“hei..
kau ini, kenapa memandangiku seperti itu? Kangen?” elen sontak sadar.
“hei…
kau ini tidak tulus membantuku ya? Kursi itu diangkat bukan diseret! Ribut tau…”
sembur elen kesal mengacuhkan pertanyaan erik. Sementara yang diceramahi hanya
mengeluarkan cengiran namun sesuai perintah elen ia mulai mengangkat kursi itu.
“kalau
begini kapan akan selesai?” celetuk erik tiba tiba. Memecah keheningan yang
sempat tercipta di ruangan besar itu. Elen yang tengah mengangkat sebuah kursi
plastic menatap erik ia mulai membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu namun
kemudian secara otomatis mulutnya kembali tertutup.
“nanti
terlalu larut…” lanjut erik sambil meletakkan sebuah kursi. “orang tuamu tidak
khawatir?” Tanya erik melanjutkan perkataanya. Elen yang masih terpaku di
tempatnya mendadak manyun. Pasti orang tuanya akan marah besar setelah ini
menyadari langit di luar tampak sangat hitam.
“tentu
saja mereka khawatir… palingan setelah sampai nanti aku akan dimarah marahi
habis habisan..” gumam elen pelan menatap erik yang sedang menggeser 4 buah
kursi sekaligus dengan sedikit susah. Elen menghela nafas pasrah dari
ekspresinya terdapat kekhawatiran dan kecemasan serta ketakutan.
“yah,
tentu saja mereka mencemaskanmu aku saja mengkhawatirkan dirimu tapi tenang aku
tak akan memarahimu habis habisan…”
Mendengar
perkataan erik barusan elen segera mendongkak menatap sosok cowok yang lumayan
keren itu dengan agak kaget. Erik yang juga tengah menatapnya hanya dapat
tersenyum dengan tampang tak berdosanya.
Elen
hendak mengatakan sesuatu tapi seperti ada yang menghentikannya elen malah
termenung mengalihkan pandangannya ke lantai.
Oh!
Astaga! Ia melupakan bagian ini.
Perlahan
kepalanya berputar mengarah kepada erik yang kini berdiri terpaku menatap
deretan kursi kursi di depannya. tanpa di aba aba mulutnya membentuk sebuah
senyuman. Senang.
“kau
tau kenapa… hei hei…”
Oh
oh oh. Lagi lagi. elen kepergok sedang menatapnya. Elen jadi salah tingkah
lagi. entah kenapa pipinya terasa panas dan jantungnya mulai berdetak agak
kacau.
“hahaha..
kau pasti benar benar kangen padaku. Iyakan? Sudah gak ketemu seharian pasti
kau mencari cariku..” kata erik menahan tawanya berusaha menggoda elen yang
makin malu dibuatnya.
“ehm..
dasar GR! Siapa juga yang kangen?” bantah elen meletakkan kedua tangannya di
pinggangnya terkesan galak. Sementara jantungnya oh.. jangan copot disini!
“dasar
keras kepala….” Seru erik dengan sebuah cengiran lebar. “apa kau benar benar
tak kangen dengan pacarmu?” lanjut erik memandang elen lekat lekat.
Tangan
elen terasa lemas matanyanya membesar kaget. Namun ia tak bisa menahan bibirnya
untuk tidak tersenyum. Malu. Merasa tidak ada jawaban yang pas untuk membalas
pertanyaan itu elen hanya dapat menggeleng menatap lantai yang sepertinya lebih
menarik untuk dipandang atau lebih tepatnya menyembunyikan kenyataan bahwa yang
dikatakan erik tidak sepenuhnya salah, melihat lantai dengan senyum yang
mungkin bisa menyihir siapapun.
“hahaha…
dasar cewek jelek! Baru digituin aja mukanya udah merah…”
“APA?!”
kini suara melengking itu sukses keluar menghancurkan suasana sepi di aula. Dengan
kepala tegak Elen cemberut, namun entah kenapa dia yang sebelumnya merasa lemah
dan tak punya tenaga bisa mengeluarkan suara sekeras itu.
“hei
hei nyonya… suaramu bisa memecahkan kaca!” goda erik yang tambah membuat elen
merasa kesal. Elen hendak berlari sekencang mungkin kearah erik dan meninju
hidung mancung itu. Namun nyatanya ia hanya dapat berkata “kau….” Tanpa tau
kelanjutan kalimat itu.
“ayolah…
aku hanya bercanda…. Aku rasa aula ini sudah cukup rapi.. ayo pulang…” ajak
erik menaruh kursi terakhir dengan sedikit tergesa gesa.
Elen
menghela nafas merasa masih kesal. Namun saat mendengar kata “pulang” telinga
elen terasa lebih nyaring. Ia berjalan pelan kearah erik yang sudah menunggunya
di dekat pintu aula besar itu.
“kakimu?”
elen mengalihkan pandangannya pada jari telunjuk erik yang mengarah pada kaki
kanannya.
“bukan
apa apa… hanya terjatuh sedikit saat mencari pak arman…” jawab elen pelan dan
santai namun gaya jalannya yang terkesan menyeret kaki kanannya itu membuat
erik tak percaya dengan kata kata “bukan apa apa” seperti yang diucapkan elen.
Tanpa
mengucapkan sepatah katapun erik berjongkok. “naik…” perintahnya.
Elen
membelalakkan matanya. “a.. apa?” tanyanya tergagap gagap seolah tak percaya
dengan apa yang disuruh cowok itu.
“berjalan
saja butuh waktu lama bagimu, makin lama kau bisa sampai rumah kan?” kata erik
tanpa memandang elen.
“tapi…
bukankah lebih lama jika…”
“naik
lah…” perintah erik sekali lagi menepuk punggungnya.
“tidak…”
“naik…”
“tidak…”
“naik..”
“tidak”
“hei…
jangan berpikiran aneh aneh! Aku tak bermaksud apapun…” seru erik akhirnya
menoleh kearah elen yang masih terlihat kurang yakin.
Elen
terdiam namun perlahan ia naik ke punggung cowok itu. Baru saja tangannya
menyentuh bahu erik ia kembali berseru.
“bagaimana
jika panitia lain melihatnya?” Tanya elen masih ragu.
“tidak
apa… mereka tidak akan berpikiran macam macam… lagian panitia yang masih tinggal
juga tidak banyak” jawab erik meyakinkan.
Deg.
Elen
merasakan deburan jantungnya seperti ombak akan tsunami berada dalam gendongan
cowok ini benar benar terasa janggal bagi elen.
Elen
menatap puncak kepala yang penuh rambut itu. Sedikit sedih. Saat sadar selama
ini mereka tak pernah punya waktu menyenangkan seperti ini. Sebagai salah satu
pengurus OSIS organisasi itu terasa lebih penting bagi elen. Begitupun sang
kapten basket yang sudah memacarinya selama 1 tahun lebih ini.
“terimakasih…”
ucap elen lirih. Saat merasakan ketulusan cowok itu menunggunya sampai selarut
ini.
=The End=
wkwkwkwk, akhirnya END juga, aku jadi senyum senyum sendiri bacanya -.-" naaah sekarang giliran komennya ditungguuuu :D apakah senyum senyum juga? :D

Luaaaannnn...
BalasHapusaku suka yang ini
kereeeennn...
feel nya dapet lo lu, walopun tu bukan buat aku
hahaha...
one word, dae to the bak DAEBAK...