" Like a Bird, I know someday after you're tired of flying there and here, you will come and fall for me. Stay with me forever. :) "

Sabtu, 27 Oktober 2012

Love, Love and Love (Cerpen)

Helloooo my friend, how are you today? i hope you fine like everyday.. -eh? kok malah nyanyi -,-"
Ahahaha, mumpung aku lagi dalam mood nih aku post lagi salah satu karyaku :) kali ini aku peruntukkan buat salah satu friend aku yang lagi bahagia bahagia-nya -cieeeee :P- semoga dia jadi tambah bahagia waktu baca ini :D

Selamat membaca :)

===Love, Love and Love===


-It's funny to know finally you're here beside me,  Thank you my dearest :)-Luan
Elen terbatuk batuk untuk kesekian kalinya. Malah kali ini lebih keras yang memaksanya harus 
duduk untuk menenangkan dirinya serta dadanya yang terasa sesak. Sebelah tangannya tengah sibuk menutup mulutnya yang terus mengeluarkan dentuman keras batuknya sementara tangannya yang lain memegangi dadanya yang nyeri. Elen menghela nafas. Ia lelah. Ia ingin pulang namun aula besar itu masih saja menyandranya. Menyuruh tubuhnya yang semenjak siang terasa tidak enak untuk terus membersihkan ruangan besar yang tampak kumuh itu. Onggokan sampah di dekat pintu aula yang semenjak tadi elen lihat tak pernah berpindah tempat membuatnya menghela sekali lagi. sementara kursi kursi aula yang masih terlihat berantakan membuat kepalanya semakin pusing. 

“hara…” dengan sedikit serak elen berteriak. Hening. Tak ada suara. Elen mendecak. Kemana temannya itu? Semenjak sore tadi hara lebih sering menghilang. Bahkan hara tak ikut makan malam bersama panitia lainnya. 

“hara…!” kali ini teriakannya lebih keras lagi. seperti orang yang berbicara dengan mikrofon elen terus memanggil manggil temannya itu yang membuat dadanya kembali terasa sakit dan batuk pun tak dapat di hindari. 

“aish!” elen menghentakkan sebelah kakinya ke lantai. Kesal. Kemana semua orang? Giliran bersih bersih semuanya hilang. Ia tau acara perpisahan yang ia ketuai berjalan lancar bahkan bisa dibilang sukses. Namun ia sama sekali tak tau jika aula yang besarnya 15 kali lipat kamarnya ini bisa membuatnya mati kelelahan untuk membersihkannya. Apalagi dengan kenyataan ia sendiri sekarang. 

Rasanya ia ingin menangis. Tapi apa gunanya? Yang ada malah akan tambah memperlambat pulangnya mengingat hari sudah malam dan hpnya dari tadi tak bisa berhenti berdering, dan suara ibunya tak henti hentinya menyuruhnya segera pulang. Namun entah mengapa elen tetap mau bertahan di aula yang yang mengandung banyak unsur mistis hingga selarut ini. seolah melupakan dirinya yang seorang cewek. 

“elen!”

Menyadari namanya dipanggil elen meoleh kearah pintu. 

“hei.. maaf tadi aku pulang dulu biasa lah ibuku sangat khawatir padaku namun tenang dengan 1000 alasan aku berhasil membujuknya mengingat kau masih disini…” hara berceloteh panjang lebar dengan semangat tak menyadari elen yang semenjak tadi menunggunya tengah menatapnya kesal.

“hei elen.. kenapa wajahmu pucat sekali?” Tanya hara setelah selesai dengan ceritanya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan menatap wajah elen yang sedikit memucat. 

Elen memaksakan sebuah senyumam “tidak apa… ayo cepat kita bereskan ruangan ini, aku benar benar ingin cepat pulang…” elen bangkit dari duduknya. Menarik lengan hara menyuruh temannya itu ikut membantunya. 

Hara dan elen mulai bekerja. Yah.. membersihakan ruangan itu. Elen mulai  merapikan bangku bangku aula dan menyusunnya. Namun baru saja 110 menit ia bekerja. hara menepuk pundaknya pelan.

“elen.. sebentar ya aku keluar dulu…aku harus ke rumah” pinta hara dengan wajahnya yang memelas. Otak elen yang hanya memfokuskan dirinya agar cepat bekerja tak dapat berpikir banyak yang ia tau saat itu ia hanya mengangguk sampai sadar ia kini sendiri lagi di aula itu.
“aish!” Helen mendecak sebal menendang kursi plastic yang berniat ia angkat dengan segenap tenaganya yang tersisa. Ia marah. Ia ingin pulang. Meringkuk di bawah selimut lembutnya dan terlelap di alam mimpi. Tapi ia tak bisa dan karena alasan tanggung jawab makanya elen masih bertahan disini. 

Tapi sendiri? Apakah itu terlalu tidak adil untuknya? 

“kalau perbaiki kursi itu harus tulus dong…”

Elen mendongkak saat tepat ia berniat untuk menendang sebuah kursi lagi. seorang cowok tinggi berdiri di ambang pintu melipatkan kedua tangannya di dada bergaya angkuh namun sebuah senyuman yang lumayan lebar kearahnya menghilangkan kesan angkuh yang diciptakan oleh gayanya.

“erik?” kata elen saat menyadari siapa yang barusan berkata. Senyum cowok yang bernama erik itu makin lebar. Tanpa berkata apapun erik dengan perlahan mulai berjalan mendekat kerah elen. 

“capek?” tanyanya setelah tepat berada di hadapan elen. Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut cowok dengan rambut berantakan itu membuat elen menaikkan sebelah alisnya. “apa?”
Erik tergelak. “apa kau sebegitu capeknya hingga telingamu ikut ikutan capek?” canda erik. Elen mendengus pelan tak berniat memperpanjang percakapan tangan. Elen kembali bergerak memindah mindahkan kursi dan menyusunnya di tempat semula. Mengacuhkan erik. 

Srek srek. 

Merasa terganggu dengan suara kursi yang ditarik secara terpaksa sehingga menimbulkan suara yang kurang mengenakkan elen mengalihkan pandanganya kearah erik yang hanya berada beberapa meter disampingnya menyeret 3 buah kursi sekaligus dengan sebelah tangannya lalu berjalan dengan menenteng kursi ringan itu. Pandangan elen tak pernah lepas mengawasi gerak gerik cowok itu. 

“hei.. kau ini, kenapa memandangiku seperti itu? Kangen?” elen sontak sadar. 

“hei… kau ini tidak tulus membantuku ya? Kursi itu diangkat bukan diseret! Ribut tau…” sembur elen kesal mengacuhkan pertanyaan erik. Sementara yang diceramahi hanya mengeluarkan cengiran namun sesuai perintah elen ia mulai mengangkat kursi itu. 

“kalau begini kapan akan selesai?” celetuk erik tiba tiba. Memecah keheningan yang sempat tercipta di ruangan besar itu. Elen yang tengah mengangkat sebuah kursi plastic menatap erik ia mulai membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu namun kemudian secara otomatis mulutnya kembali tertutup. 

“nanti terlalu larut…” lanjut erik sambil meletakkan sebuah kursi. “orang tuamu tidak khawatir?” Tanya erik melanjutkan perkataanya. Elen yang masih terpaku di tempatnya mendadak manyun. Pasti orang tuanya akan marah besar setelah ini menyadari langit di luar tampak sangat hitam. 

“tentu saja mereka khawatir… palingan setelah sampai nanti aku akan dimarah marahi habis habisan..” gumam elen pelan menatap erik yang sedang menggeser 4 buah kursi sekaligus dengan sedikit susah. Elen menghela nafas pasrah dari ekspresinya terdapat kekhawatiran dan kecemasan serta ketakutan. 

“yah, tentu saja mereka mencemaskanmu aku saja mengkhawatirkan dirimu tapi tenang aku tak akan memarahimu habis habisan…”

Mendengar perkataan erik barusan elen segera mendongkak menatap sosok cowok yang lumayan keren itu dengan agak kaget. Erik yang juga tengah menatapnya hanya dapat tersenyum dengan tampang tak berdosanya. 

Elen hendak mengatakan sesuatu tapi seperti ada yang menghentikannya elen malah termenung mengalihkan pandangannya ke lantai.

Oh! Astaga! Ia melupakan bagian ini. 

Perlahan kepalanya berputar mengarah kepada erik yang kini berdiri terpaku menatap deretan kursi kursi di depannya. tanpa di aba aba mulutnya membentuk sebuah senyuman. Senang. 

“kau tau kenapa… hei hei…”

Oh oh oh. Lagi lagi. elen kepergok sedang menatapnya. Elen jadi salah tingkah lagi. entah kenapa pipinya terasa panas dan jantungnya mulai berdetak agak kacau. 

“hahaha.. kau pasti benar benar kangen padaku. Iyakan? Sudah gak ketemu seharian pasti kau mencari cariku..” kata erik menahan tawanya berusaha menggoda elen yang makin malu dibuatnya. 

“ehm.. dasar GR! Siapa juga yang kangen?” bantah elen meletakkan kedua tangannya di pinggangnya terkesan galak. Sementara jantungnya oh.. jangan copot disini!

“dasar keras kepala….” Seru erik dengan sebuah cengiran lebar. “apa kau benar benar tak kangen dengan pacarmu?” lanjut erik memandang elen lekat lekat. 

Tangan elen terasa lemas matanyanya membesar kaget. Namun ia tak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. Malu. Merasa tidak ada jawaban yang pas untuk membalas pertanyaan itu elen hanya dapat menggeleng menatap lantai yang sepertinya lebih menarik untuk dipandang atau lebih tepatnya menyembunyikan kenyataan bahwa yang dikatakan erik tidak sepenuhnya salah, melihat lantai dengan senyum yang mungkin bisa menyihir siapapun. 

“hahaha… dasar cewek jelek! Baru digituin aja mukanya udah merah…”

“APA?!” kini suara melengking itu sukses keluar menghancurkan suasana sepi di aula. Dengan kepala tegak Elen cemberut, namun entah kenapa dia yang sebelumnya merasa lemah dan tak punya tenaga bisa mengeluarkan suara sekeras itu. 

“hei hei nyonya… suaramu bisa memecahkan kaca!” goda erik yang tambah membuat elen merasa kesal. Elen hendak berlari sekencang mungkin kearah erik dan meninju hidung mancung itu. Namun nyatanya ia hanya dapat berkata “kau….” Tanpa tau kelanjutan kalimat itu.

“ayolah… aku hanya bercanda…. Aku rasa aula ini sudah cukup rapi.. ayo pulang…” ajak erik menaruh kursi terakhir dengan sedikit tergesa gesa.

Elen menghela nafas merasa masih kesal. Namun saat mendengar kata “pulang” telinga elen terasa lebih nyaring. Ia berjalan pelan kearah erik yang sudah menunggunya di dekat pintu aula besar itu. 

“kakimu?” elen mengalihkan pandangannya pada jari telunjuk erik yang mengarah pada kaki kanannya.

“bukan apa apa… hanya terjatuh sedikit saat mencari pak arman…” jawab elen pelan dan santai namun gaya jalannya yang terkesan menyeret kaki kanannya itu membuat erik tak percaya dengan kata kata “bukan apa apa” seperti yang diucapkan elen. 

Tanpa mengucapkan sepatah katapun erik berjongkok. “naik…” perintahnya.

Elen membelalakkan matanya. “a.. apa?” tanyanya tergagap gagap seolah tak percaya dengan apa yang disuruh cowok itu. 

“berjalan saja butuh waktu lama bagimu, makin lama kau bisa sampai rumah kan?” kata erik tanpa memandang elen.

“tapi… bukankah lebih lama jika…”

“naik lah…” perintah erik sekali lagi menepuk punggungnya. 

“tidak…”

“naik…”

“tidak…”

“naik..”

“tidak”

“hei… jangan berpikiran aneh aneh! Aku tak bermaksud apapun…” seru erik akhirnya menoleh kearah elen yang masih terlihat kurang yakin.

Elen terdiam namun perlahan ia naik ke punggung cowok itu. Baru saja tangannya menyentuh bahu erik ia kembali berseru.

“bagaimana jika panitia lain melihatnya?” Tanya elen masih ragu. 

“tidak apa… mereka tidak akan berpikiran macam macam… lagian panitia yang masih tinggal juga tidak banyak” jawab erik meyakinkan.

Deg.

Elen merasakan deburan jantungnya seperti ombak akan tsunami berada dalam gendongan cowok ini benar benar terasa janggal bagi elen. 

Elen menatap puncak kepala yang penuh rambut itu. Sedikit sedih. Saat sadar selama ini mereka tak pernah punya waktu menyenangkan seperti ini. Sebagai salah satu pengurus OSIS organisasi itu terasa lebih penting bagi elen. Begitupun sang kapten basket yang sudah memacarinya selama 1 tahun lebih ini.

“terimakasih…” ucap elen lirih. Saat merasakan ketulusan cowok itu menunggunya sampai selarut ini.

=The End=

wkwkwkwk, akhirnya END juga, aku jadi senyum senyum sendiri bacanya -.-" naaah sekarang giliran komennya ditungguuuu :D apakah senyum senyum juga? :D

1 komentar:

  1. Luaaaannnn...
    aku suka yang ini
    kereeeennn...
    feel nya dapet lo lu, walopun tu bukan buat aku
    hahaha...
    one word, dae to the bak DAEBAK...

    BalasHapus